ZAKAT FITRI ATAU ZAKAT FITRAH?IDUL FITRI ATAU IDUL FITRAH?

Kata fithr (فطر) bermakna membelah, muncul, menciptakan[1]. Zakat setelah Ramadhan selesai disebut zakat al-fithri (زكاة الفطر).

Kata fithr ini bila dibentuk menjadi kata lain, bisa menjadi ifthar (إفطار), yang maknanya adalah makan untuk berbuka puasa. Bisa diubah menjadi kata fathur (فطور), yang artinya sarapan pagi. Sarapan pagi juga merusak puasa. Maka dalam bahasa Inggris, sarapan disebut dengan breakfast, merusak puasa.

Dinamakan zakat fithr karena terkait dengan bentuk harta yang diberikan kepada mustahiknya, yaitu berupa makanan.

Selain itu zakat ini dinamakan fithr juga karena terkait dengan hari lebaran yang bernama fithr. Kita di Indonesia sering menyebutnya dengan Idul Fithr, yang artinya hari raya fithr.
Pada hari raya Idul Fithr itu kita diharamkan berpuasa, sebaliknya wajib berbuka atau memakan makanan. Oleh karena itulah hari raya itu disebut dengan hari Idul Fithr.
Hampir semua hadits yang ada, menggunakan redaksi (زكاة الفطر) bukan (زكاة الفطرة).
Lantas, apakah zakat fitrah itu salah?

Beberapa ulama ternyata memang ada yang menyebutkan bahwa asalnya dari fitrah, yang artinya suci atau murni. Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H) menyebutkan:
وأضيفت الصدقة للفطر لكونها تجب بالفطر من رمضان، وقال بن قتيبة المراد بصدقة الفطر صدقة النفوس مأخوذة من الفطرة التي هي أصل الخلقة، والأول أظهر.[3]

Artinya: Kata shadaqah disandarkan kepada kata fithr karena wajibnya ketika sudah berbuka dan selesai melaksanakan puasa Ramadhan. Ibnu Qutaibah menyebutkan bahwa maksud dari shadaqah fithr itu shadaqah untuk membersihkan jiwa, yang diambil dari kata "al-fithrah" yang berarti suci dan murni seperti awal penciptaan manusia. Tetapi pendapat yang pertama itu lebih benar.

Hal senada diungkapkan oleh al-Khatib as-Syirbini dalam kitabnya al-Iqna':
سميت بذلك لأن وجوبها بدخول الفطر ويقال أيضا زكاة الفطرة بكسر الفاء والتاء في آخرها كأنها من الفطرة التي هي الخلقة المرادة بقوله تعالى {فطرة الله التي فطر الناس عليها}.[
4]
Artinya: Disebut zakat fithri karena wajibnya karena masuk 'id al-fitr. Ada pula yang menyebut zakat fitrah, dengan kasrahnya huruf fa' dan tambahan ta' di belakangnya. Berasal dari kata fitrah yang artinya suci. Sebagaimana ayat: "(sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu.

Imam an-Nawawi (w. 676 H) menyebutkan bahwa kata (فطرة) itu merujuk kepada suatu benda yang dikeluarkan, beliau menyebutkan:
وَيُقَالُ لِلْمُخْرَجِ فِطْرَةٌ بِكَسْرِ الْفَاء لَا غَيْرُ وَهِيَ لَفْظَةٌ مُوَلَّدَةٌ لَا عَرَبِيَّةٌ وَلَا مُعَرَّبَةٌ بَلْ اصْطِلَاحِيَّةٌ لِلْفُقَهَاءِ وَكَأَنَّهَا مِنْ الْفِطْرَةِ التى هي الخلقة أي زكاة الخلقة.[5] (المجموع شرح المهذب (6/ 103)

Artinya: Benda yang dikeluarkan (untuk zakat fithri) itu disebut fithrah -dengan kasrah fa'nya- kata itu adalah bentuk serapan, bukan asli arab atau bukan diarabkan. Kata itu adalah istilah dari pada ahli fiqih, seolah zakat itu berasal dari fitrah yang bermakna asal penciptaan manusia, atau zakat asal penciptaan manusia.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indoneis daring, yang ada malahan zakat fitrah, bukan zakat fitri. Zakat – fitrah: zakat yang wajib diberikan oleh setiap orang Islam setahun sekali (pada Idulfitri) berupa makanan pokok sehari-hari (beras, jagung, dan sebagainya). Kata fitri1/fit·ri/ Ar a: 1 berhubungan dengan fitrah (sifat asal); 2 berhubungan dengan berbuka puasa. Sedangkan fitrah1/fit·rah/ n sifat asal; kesucian; bakat; pembawaan.

Jadi, yang paling pas dari sudut pandang riwayat hadits sebenarnya zakat fitri. Hampir semua hadits yang ada, menggunakan redaksi (زكاة الفطر) bukan (زكاة الفطرة).

Tapi kalo disebut zakat fitrah yang tak salah, karena memang beberapa ulama menyebutkan asalnya bisa dari fitrah. Ketika diserap menjadi bahasa Indonesia juga jadi zakat fitrah.
Nah, kalo idul fitri malah ga ada yang menyebut jadi idul fitrah.

Referensi :

  1. Ibnu Mandzur (w. 711 H), Lisan al-Arab, juz 5, hal. 55, Majma' al-Lughat al-Qahirah, al-Mu'jam al-Wasith, juz 2, hal. 694
  2.  Majma' al-Lughat al-Qahirah, al-Mu'jam al-Wasith, juz 2, hal. 694
  3.  Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H), Fath al-Bari, juz 3, hal. 367
  4. Al-Khatib as-Syirbini (w. 977 H), al-Iqna fi Halli Alfadz Abi Syuja', juz 1, hal. 226
  5. Yahya bin Syaraf an-Nawawi (w. 676 H), al-Majmu', juz 6, hal. 103
  6. Tulisan Ustadz Hanif lutfi, Lc, MA

Post a Comment

0 Comments