MAKNA HALAL BI HALAL
Oleh Rohmat Teguh Nugroho, S.Pd.
Halal bi Halal itu adalah menyinergikan hubungan baik dengan Allah
dan sesama, bukan yang lain
Ada sebuah tradisi kreatif khas masyarakat Muslim
Tanah Air, yaitu Halal bi Halal. Satu kebiasaan
yang hanya ada di negeri kita. Halal bi Halal muncul sebagai ungkapan saling
menghalalkan kesalahan dan kekhilafan. Saling memaafkan satu sama lain. Setiap
orang sadar tidak ada yang lepas dari kesalahan. Manusia tempatnya salah dan
lupa. Idul Fitri dengan kegiatan Halal bi Halal-nya, membuat umat
Islam melebur kesalahannya dengan berbagi maaf tanpa sekat yang membatasi.
Ada tiga pelajaran yang bisa kita petik dari
kegiatan Halal Bi Halal. Pelajaran
pertama adalah pembersihan diri dari segala bentuk kesalahan. Ibarat pemudik
yang pulang ke kampung halamannya setelah sekian tahun merantau ke negeri
seberang. Dalam perjalanan itu tidak sedikit ia isi dengan kesalahan, seperti
lupa salat, lalai menunaikan janji setia kepada Allah, lupa berdzikir, bersikap
angkuh atau berlaku aniaya kepada diri sendiri.
Di hari nan fitri itu kita “mudik” kepada Allah.
Kembali kepada-Nya dengan membawa proposal berisi rintihan permohonan ampun.
Memohon ampun atas dosa yang terjadi. Kita sadar bahwa diri ini penuh maksiat.
Halal bi Halal menggiring kita untuk kembali ke kampung halaman yang
sesungguhnya.
Kembali kepada ampunan Allah yang sangat luas. Itulah
makna hakiki dari kalimat Minal A`idhin wal Faizin yang
artinya “Semoga kita kembali kepada fitrah dan menang melawan hawa nafsu.” Kembali
kepada jati diri yang suci bak bayi yang lahir ke muka bumi. Bersih, bening dan
penuh ketulusan.
Pelajaran kedua dari Halal bi Halal adalah
membersihkan hati dari rasa benci kepada sesama. Pada suatu hari, ketika Nabi
SAW tengah duduk-duduk dengan para sahabatnya, ada seorang pria asing berjalan
di hadapan mereka. Orang itu berjalan lalu pergi entah ke mana.
Setelah pria asing itu berlalu, Nabi berkata kepada
para sahabat, “Dialah ahli surga.” Kalimat itu beliau ucapkan tiga kali.
Sahabat Abdullah bin Umar penasaran tentang amal perbuatan yang dikerjakannya
sampai sampai Nabi menyematinya sebagai ahli surga. Abdullah memutuskan untuk
menyusul si “ahli surga” di kediamannya. Abdullah minta izin menginap
selama 3 hari di rumahnya. Pria ini memberinya izin. Ternyata selama 3 hari itu
Abdullah tidak melihat amalan-amalannya yang istimewa. Abdullah semakin
penasaran.
Akhirnya ia bertanya, “Wahai saudaraku, sewaktu
engkau lewat di hadapan kami, Rasulullah berkata bahwa engkau adalah ahli
surga. Amalan apa yang engkau kerjakan sehingga Rasul sangat memuliakanmu?”
Pria sederhana ini menjawab, “Sesungguhnya aku tidak pernah melakukan apa-apa.
Aku tidak punya ilmu dan harta yang bisa kusedekahkan. Aku hanya punya rasa
cinta kepada Allah, Rasulullah dan sesama manusia. Setiap malam menjelang
tidur, aku selalu berusaha menguatkan rasa cinta itu sekaligus berusaha
menghilangkan rasa benci terhadap siapa saja.”
Terkadang karena persaingan bisnis atau faktor
lainnya terbesit rasa dendam dan iri hati. Mari kita singkirkan
penyakit-penyakit pengotor hati itu dalam momentum Halal bi
Halal. Tidak ada lagi kedengkian. Kita ganti dengan kelapangan
jiwa. Kita obati kesombongan dengan kerendah-hatian. Kita buang permusuhan dan
kita isi dengan persaudaraan.
Pelajaran ketiga adalah memupuk kepedulian dan
kebersamaan. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa lepas dari pergaulan
dan kebersamaan yang dibangun lewat sikap tolong-menolong. Muslim yang kaya
membantu saudaranya yang miskin. Sepatutnya rasa gembira seseorang juga memberikan
bentuk kenikmatan yang lain, yaitu kenikmatan bersyukur dengan berupaya membagi
kebahagiaan itu kepada sesamanya. Kini, saatnya setiap Muslim membumikan
berkah-berkah kesalehan Ramadhan dengan menebar rasa bahagia ke setiap orang,
memupuknya, merawat dan menjaga agar mendapatkan buah indahnya ikatan
persaudaraan.
Syawal, sebagai bulan indahnya kebersamaan dalam
kasih sayang, merupakan hari-hari yang begitu membahagiakan bagi semua Muslim.
Sebuah waktu istimewa untuk dapat bersilaturahim, saling mengenal dan saling
mendoakan. Doa yang dianjurkan saat berjumpa adalah, “Taqobbalallahu
minna waminkum (Semoga Allah menerima amalanku dan amalanmu)”
Kita hendaknya berusaha mengamalkan tuntunan Rasulullah untuk memberikan
kesenangan dan kegembiraan fitri bukan saja kepada kerabat dan handai tolan,
melainkan pula kepada saudara-saudara kita yang fakir, miskin, atau dalam
kondisi yang memprihatinkan (dhu`afa), agar kelak mereka tidak lagi
meminta-minta dan hidup kesusahan, hingga kegembiraan itu terus berlanjut dalam
kehidupan yang layak.
Jika semua itu bisa kita lakukan, Allah berjanji
dalam hadits Qudsi: “Cinta-Ku berhak (diperoleh) bagi orang-orang
yang saling mencintai karena-Ku, cinta-Ku berhak diperoleh bagi orang-orang mau
saling memberi karena-Ku, cinta-Ku berhak diperoleh bagi orang-orang yang mau
saling tolong menolong karena-Ku, cinta-Ku berhak diperoleh bagi orang-orang
yang saling berlaku adil karena-Ku dan cinta-Ku berhak bagi orang-orang yang
saling berziarah karena-Ku.”
Mudah-mudahan kita mampu menyinergikan Hablun
minaLlah dan Habhun minann-Nas (hubungan
baik dengan Allah dan sesama) dalam tradisi Halal bi Halal. Kepada Allah
kita memohon ampunan-Nya dan kepada sesama saudara Muslim kita saling
memaafkan.
Silaturahmi juga merupakan faktor yang dapat menjadi
penyebab umur panjang dan banyak rizki. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي
رِزْقِهِ أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barang siapa yang ingin dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan
umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahmi”. [Muttafaqun ‘alaihi].
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الرَّحِمُ مُعَلَّقَةٌ بِالْعَرْشِ تَقُولُ
مَنْ وَصَلَنِي وَصَلَهُ اللَّهُ وَمَنْ قَطَعَنِي قَطَعَهُ اللَّهُ
“Ar-rahim itu tergantung di Arsy. Ia berkata: “Barang
siapa yang menyambungku, maka Allah akan menyambungnya. Dan barang siapa yang
memutusku, maka Allah akan memutus hubungan dengannya”. [Muttafaqun ‘alaihi].
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
menjelaskan bahwa menyambung silaturahmi lebih besar pahalanya daripada
memerdekakan seorang budak. Dalam Shahîh al-Bukhâri, dari Maimûnah
Ummul-Mukminîn, dia berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَشَعَرْتَ أَنِّي
أَعْتَقْتُ وَلِيدَتِي قَالَ أَوَفَعَلْتِ قَالَتْ نَعَمْ قَالَ أَمَا إِنَّكِ
لَوْ أَعْطَيْتِهَا أَخْوَالَكِ كَانَ أَعْظَمَ لِأَجْرِكِ
“Wahai Rasulullah, tahukah engkau bahwa aku
memerdekakan budakku?” Nabi bertanya, “Apakah engkau telah melaksanakannya?” Ia
menjawab, “Ya”. Nabi bersabda, “Seandainya engkau berikan budak itu kepada
paman-pamanmu, maka itu akan lebih besar pahalanya”.
Yang amat disayangkan, ternyata ada sebagian orang
yang tidak mau menyambung silaturahmi dengan kerabatnya, kecuali apabila
kerabat itu mau menyambungnya. Jika demikian, maka sebenarnya yang dilakukan
orang ini bukanlah silaturahmi, tetapi hanya sebagai balasan. Karena setiap
orang yang berakal tentu berkeinginan untuk membalas setiap kebaikan yang telah
diberikan kepadanya, meskipun dari orang jauh.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ وَلَكِنْ
الْوَاصِلُ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا
“Orang yang menyambung silaturahmi itu, bukanlah yang
menyambung hubungan yang sudah terjalin, akan tetapi orang yang menyambung
silaturahmi ialah orang yang menjalin kembali hubungan kekerabatan yang sudah
terputus”. [Muttafaqun ‘alaihi].
Oleh karena itu, sambunglah hubungan silaturahmi
dengan kerabat-kerabat kita, meskipun mereka memutuskannya. Sungguh kita akan
mendapatkan balasan yang baik atas mereka.
Diriwayatkan, telah datang seorang lelaki kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ لِي قَرَابَةً
أَصِلُهُمْ وَيَقْطَعُونِي وَأُحْسِنُ إِلَيْهِمْ وَيُسِيئُونَ إِلَيَّ وَأَحْلُمُ
عَنْهُمْ وَيَجْهَلُونَ عَلَيَّ فَقَالَ لَئِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَ فَكَأَنَّمَا
تُسِفُّهُمْ الْمَلَّ وَلَا يَزَالُ مَعَكَ مِنَ اللَّهِ ظَهِيرٌ عَلَيْهِمْ مَا
دُمْتَ عَلَى ذَلِكَ
“Wahai Rasulullah, aku mempunyai kerabat. Aku
menyambung hubungan dengan mereka, akan tetapi mereka memutuskanku. Aku berbuat
baik kepada mereka, akan tetapi mereka berbuat buruk terhadapku. Aku berlemah
lembut kepada mereka, akan tetapi mereka kasar terhadapku,” maka Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila engkau benar demikian, maka
seakan engkau menyuapi mereka pasir panas, dan Allah akan senantiasa tetap
menjadi penolongmu selama engkau berbuat demikan.” [Muttafaq ‘alaihi].
Begitu pula firman Allah Ta’ala:
وَالَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ
مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ
وَيُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ ۙ أُولَٰئِكَ لَهُمُ اللَّعْنَةُ
وَلَهُمْ سُوءُ الدَّارِ
“Orang-orang yang merusak janji Allah setelah
diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya
dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang
memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam)”.
[ar-Ra’d/13:25].
Dari Jubair bin Mut’im bahwasanya Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah bersabda:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ
“Tidaklah masuk surga orang yang suka memutus, (
memutus tali silaturahmi)”. [Mutafaqun ‘alaihi].
0 Comments